...
Undangan berwarna gading itu sampai
kepadaku hari ini, bukan langsung dari mempelai yang berbahagia, namun
dikirimkan lewat seorang teman sekantorku. Tak mengapa, karena pastinya dia
enggan menyampaikannya langsung kepadaku mengingat masa lalu kami.
Di bagian depan undangan tertulis inisial
MR. Pastinya inisial M untuk Mahardika, calon pengantin pria, sedang R, aku
masih harus mencari tahu terlebih dahulu. Kutarik pita satin yang mengikat
undangan, membuka lembaran kertas undangan yang dilipat menjadi tiga bagian
itu. Tinta emas mengukir huruf-huruf di dalam undangan itu, kubaca dari atas
dengan perlahan. Aku sengaja membaca dengan lambat, sebab sebenarnya di dalam
hatiku ada perasaan perih menggores saat kuterima undangan itu. Andai waktu itu
kuterima pinangan Ardi pastinya inisial yang tertulis di undangan itu adalah
MA—Mahardika-Ambarwati. Ingatanku seketika terbang ke enam bulan lalu, saat aku
dan Ardi masih sepasang kekasih.
...
Aku dan Ardi duduk berhadapan di The Perfecto, sebuah restoran Italia
yang paling sering kami datangi karena dekat dengan kantorku. Suasana siang itu
cukup ramai sebab bertepatan dengan jam makan siang. Tamu-tamu restoran
didominasi oleh karyawan kantoran seperti kami, ada yang terlihat santai,
adapula yang terlihat tergesa, ada yang terlihat stress, adapula yang semringah.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini,
lancar?” tanya Ardi sambari menyendok sup makaroninya, dan memasukkannya ke
mulut.
“Baik. Lancar,” jawabku, tanpa
mengangkat mata dari ponsel. Aku baru saja menerima email dari supplier yang
mengatakan bahwa pengiriman bahan baku akan mengalami keterlambatan. Ini akan
menjadi masalah, keterlambatan pasokan bahan baku akan menghambat produksi, dan
artinya akan menghancurkan jadwal lauching
produk yang sudah kurencanakan. Aku harus cepat menangani hal ini
secepatnya. Ini pekerjaan pertamaku setelah aku dipromosikan menjadi manajer
bagian produksi, dan aku tidak memberi kesal seolah aku tidak becus menjalankan
kewajibanku. “Sebentar,” ujarku pada Ardi sebelum menghubungi supplierku melalui telepon.
Kuhabiskan sekitar sepuluh menit di
telepon, berdiskusi singkat dengan pihak supplier,
tetapi tak membuahkan hasil yang menggembirakan. Sepertinya aku harus
mendatangi mereka langsung guna meminta kepastian.
“Maaf, ada sedikit masalah dengan pihak supplier.” Aku berusaha menjelaskan
karena kulihat wajah Ardi tampak tidak senang. Ia menghentikan makannya dan
memandangiku. “Ini jam istirahat, kenapa masih mengurusi pekerjaan?” tanyanya. Dari
kata-katanya terdengar jelas ia belum
menerima permintaan maafku.
“Maaf, Di. Tapi itu tadi mendesak, pihak
supplier—”
Ardi mengangkat tangannya, isyarat itu
seketika menghentikan kata-kataku.
“Aku mengerti tentang pekerjaanmu,
tetapi rasanya akhir-akhir ini kau sudah kelewatan,” ujar Ardi.
“Kelewatan bagaimana?” tanyaku bingung.
“Kau lebih mementingkan pekerjaanmu
daripada aku,” sahut Ardi. “Kadang aku merasa percuma saja kita pergi berdua,
makan bersama karena toh kau selalu
asyik dengan gadgetsmu, entah itu
ponsel, tablet, atau laptop. Gadgets seolah alat pacu jantung bagimu,
tanpa benda-benda itu mungkin kau akan sekarat.”
Kuamati lekat sosok yang duduk di
hadapanku itu. Begitukah aku di matanya?
“Kau terlalu berlebihan,” sahutku
sembari meraih gelas air putih dan menandaskan isinya. “Aku tidak gila kerja.”
“O ya?” Ardi bersidekap. Matanya
memandang lurus kepadaku. “Kau bekerja dua belas jam sehari, Ambar. Masuk jam
sembilan pagi, pulang jam sepuluh atau sebelas malam. Apa namanya kalau bukan
gila kerja?”
“Kau juga terkadang bekerja sampai
tengah malam,” sahutku ketus. Aku kesal karena Ardi menyebutku gila kerja.
Kuakui akhir-akhir ini aku memang sering lembur, tetapi itu karena sebentar
lagi ada peluncuran produk baru, sebelum ini aku tidak terlalu sering lembur.
“Hanya jika harus menyelesaikan desain
dan coding program yang rumit, dan
itu pun jarang,” ujar Ardi. “Dan yang paling penting, aku tidak pernah membawa-bawa pekerjaanku di tengah kencan kita.”
Kata-kata Ardi menohokku. Ia benar.
Selama ini ia memang tidak pernah membawa pekerjaanku jika sedang bersamaku.
Saat kami bersama ia melupakan semua pekerjaannya sebagai seorang programmer, ia mencurahkan semua
perhatian kepadaku. Aku pun begitu ... dulu.
Dahulu, ketika kami berkencan, kami akan
berkeliling menjelajahi kota, mengunjungi tempat-tempat unik, atau berwisata
kuliner. Dahulu, kami mengobrol dengan
bermacam topik, mulai dari yang serius sampai yang absurd. Dahulu, aku selalu
mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Ardi, semua kisah yang ia
ceritakan, semua lelucon yang ia bagikan.
Kini, setelah aku bekerja dan mulai
meniti karir, kami jarang berkencan. Kalau pun kami bertemu itu hanya untuk
makan siang atau malam bersama. Kami hampir tak pernah menghabiskan akhir pekan
bersama lagi, karena aku lebih sering menghabiskan akhir pekan melakukan
kunjungan kerja ke luar kota. Rasanya sudah begitu lama aku tidak duduk di
sebelah Ardi dan mendengarkan kisahnya, leluconnya. Aku yang sekarang memang
lebih sering memegang gadgetsku
dibanding menggenggam tangan Ardi.
“Aku....”
“Aku cemburu pada pekerjaanmu yang
selalu mendapat perhatian darimu,” ujar Ardi pelan, ia sudah tak lagi
bersidekap, tangannya kini mengaduk-aduk sup makaroninya tanpa niat untuk
memakannya. “Kadang kupikir kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada aku,” ia
melanjutkan.
Cepat kuraih tangan Ardi, menggenggamnya
erat. “Aku mencintaimu,” ujarku.
Mata Ardi kembali menatapku. “Kau yang
dulu mencintaiku,” sahutnya.
“Yang sekarang pun sama.” Dengan cepat aku menimpali.
“Tak sebesar dulu kurasa,” ujarnya
hambar.
“Kau meragukanku?” Kurasakan mataku
mulai basah. “Bagaimana caranya aku membuktikan perasaanku padamu?”
“Kurasa....”
Tepat saat Ardi mulai bicara ponselku
kembali berbunyi. Awalnya ingin kuabaikan tetapi setelah melihat panggilan itu
dari atasanku, segera kulepas tangan Ardi dan meraih ponselku. Kulihat mata
Ardi menyorot marah, tetapi tak kuacuhkan. Akan kujelaskan padanya nanti
setelah panggilan ini berakhir.
Selama aku berbicara di telepon mata
Ardi tak lepas dariku, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tak
sabar. Aku hanya bisa memberikan jawaban singkat pada atasanku, dan saat
kupikir Ardi akan meledak atasanku menyudahi percakapan kami, dan memutuskan
sambungan.
“Maaf, tadi itu Pak Djoko, aku tidak
mungkin mengabaikannya,” jelasku dengan nada memohon, berharap Ardi memberikan
pengertiannya.
“Ambar.” Ardi mengulurkan tangan,
menyentuh tanganku. “Antara uang atau cinta, kau pilih mana?”
Keningku berkerut. “Pertanyaanmu aneh,
Di.”
Ia menggeleng. “Biar kubuat lebih
simpel. Uang adalah pekerjaanmu, dan cinta adalah aku...” Ia menggantung
kalimatnya sesaat untuk mengamatiku, dan ia pasti menyadari kerutan di keningku
semakin dalam. “Di antara keduanya mana yang kau pilih?”
“Apa maksud pertanyaanmu?” Aku balik
bertanya dengan hati berjengit.
“Aku bermaksud melamarmu, tetapi aku
ingin setelah menikah kau jadi ibu rumah tangga saja,” jawab Ardi.
“Maksudmu aku harus berhenti bekerja?”
tanyaku marah.
“Iya.” Ardi menjawab dengan lugas.
Aku menggeleng. “Aku tidak mau,” ujarku.
“Ini impianku, Di.”
“Itukah pilihanmu?” Ardi melepas
genggamannya.
“Ya,” jawabku. “Karirku sedang
bagus-bagusnya sekarang, aku tidak mungkin melepaskannya. Dan untuk pernikahan
... Kurasa ini bukan waktu yang tepat.”
Wajah Ardi tampak pias, sudut-sudut
bibirnya turun, tak pernah kulihat ia tampak begitu pasrah, begitu sakit hati
atas ucapanku. “Aku mengerti,” ujarnya lemah.
“Di, aku....” Pikiranku seketika kosong,
tak kutemukan kata yang sesuai untuk menjelaskan kepadanya.
Terdengar helaan napas dari Ardi sebelum
ia berkata, “Sepertinya kalau kita paksakan hubungan ini, kita akan semakin
saling menyakiti ya?”
Deg!
Seketika
jantungku berdebar tak karuan. “Maksudmu?”
“Kau punya masalah sendiri, aku pun
demikian. Dan, kita berdua sudah tidak mampu lagi untuk saling mengerti. Kita
tidak lagi sejalan, Ambar.”
“M-maksudmu?” Aku terbata. Rasanya ingin
kututup saja telingaku sekarang, aku tidak mau mendengar jawabannya, tidak mau
mendengar kata-katanya.
“Kita lanjutkan kehidupan kita
masing-masing. Dengan pilihan hidup kita masing-masing, semoga setelah ini kita
berdua bisa berbahagia meski tak lagi bersama.”
Otakku lumpuh. Selama beberapa saat aku
hanya bisa memandangi Ardi dengan tatapan tak percaya. “A-aku....”
“Maaf, Ambar.”
Aku tertunduk dalam. Sekuat tenaga
kutahan air mataku. Aku tak ingin menangis, tak akan menangis di depan Ardi.
Jadi kutegakkan punggungku, kuangkat wajahku, dan kuberikan senyuman terbaikku.
“Jika ini memang yang terbaik bagi kita,” ujarku dengan suara bergetar,
ternyata aku tak cukup ahli menyembunyikan kegetiranku. “Terima kasih untuk
semuanya, Di.”
Ardi hanya mengangguk. Saat kuperhatikan
ia, kulihat ada perasaan lega di wajahnya. Kurasa ia memang sudah mengambil
keputusan ini sejak lama.
...
Pikiranku kembali ke masa sekarang, ke
undangan gading yang masing kugenggam di tanganku.
Uang atau cinta, huh?
Yah, bisa dibilang waktu itu aku lebih
memilih uang dibandingkan cinta. Bukan karena aku tidak mencintai Ardi. Aku
mencintainya, sungguh. Hanya saja saat dia menyuruhku berhenti bekerja setelah
menikah, aku tidak bisa menerimanya. Realistis saja, aku punya pekerjaan dengan
jenjang karir yang bagus ke depannya, dan rasanya bodoh jika aku melepaskannya
demi seseorang pria yang tidak mendukung impianku.
Kulanjutkan kembali membaca, mataku
berhenti cukup lama di nama mempelai wanita. Raisya Azzahra. Jadi wanita inilah
yang menjadi pelabuhan hati Ardi kini. Dialah wanita yang Ardi rasa tepat untuk
menjadi pendamping hidupnya. Hatiku serasa diremas. Sakit. Namun apalah dayaku,
Ardi memang bukan jodohku. Pilihanku membuat kami melangkah di jalan yang
berbeda.
Jika ditanya apakah aku menyesal
melepaskan Ardi? Ya, aku sedikit menyesal. Tetapi karena aku sudah memilih, dan
akan kujalani pilihanku. Biar pun pedih, biar pun sakit, harus kuterima.
...
fin
...
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana:
Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar