Halaman

Kamis, 19 November 2015

Pilihanku

...
Undangan berwarna gading itu sampai kepadaku hari ini, bukan langsung dari mempelai yang berbahagia, namun dikirimkan lewat seorang teman sekantorku. Tak mengapa, karena pastinya dia enggan menyampaikannya langsung kepadaku mengingat masa lalu kami.
Di bagian depan undangan tertulis inisial MR. Pastinya inisial M untuk Mahardika, calon pengantin pria, sedang R, aku masih harus mencari tahu terlebih dahulu. Kutarik pita satin yang mengikat undangan, membuka lembaran kertas undangan yang dilipat menjadi tiga bagian itu. Tinta emas mengukir huruf-huruf di dalam undangan itu, kubaca dari atas dengan perlahan. Aku sengaja membaca dengan lambat, sebab sebenarnya di dalam hatiku ada perasaan perih menggores saat kuterima undangan itu. Andai waktu itu kuterima pinangan Ardi pastinya inisial yang tertulis di undangan itu adalah MA—Mahardika-Ambarwati. Ingatanku seketika terbang ke enam bulan lalu, saat aku dan Ardi masih sepasang kekasih.
...
Aku dan Ardi duduk berhadapan di The Perfecto, sebuah restoran Italia yang paling sering kami datangi karena dekat dengan kantorku. Suasana siang itu cukup ramai sebab bertepatan dengan jam makan siang. Tamu-tamu restoran didominasi oleh karyawan kantoran seperti kami, ada yang terlihat santai, adapula yang terlihat tergesa, ada yang terlihat stress, adapula yang semringah.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini, lancar?” tanya Ardi sambari menyendok sup makaroninya, dan memasukkannya ke mulut.
“Baik. Lancar,” jawabku, tanpa mengangkat mata dari ponsel. Aku baru saja menerima email dari supplier yang mengatakan bahwa pengiriman bahan baku akan mengalami keterlambatan. Ini akan menjadi masalah, keterlambatan pasokan bahan baku akan menghambat produksi, dan artinya akan menghancurkan jadwal lauching produk yang sudah kurencanakan. Aku harus cepat menangani hal ini secepatnya. Ini pekerjaan pertamaku setelah aku dipromosikan menjadi manajer bagian produksi, dan aku tidak memberi kesal seolah aku tidak becus menjalankan kewajibanku. “Sebentar,” ujarku pada Ardi sebelum menghubungi supplierku melalui telepon.
Kuhabiskan sekitar sepuluh menit di telepon, berdiskusi singkat dengan pihak supplier, tetapi tak membuahkan hasil yang menggembirakan. Sepertinya aku harus mendatangi mereka langsung guna meminta kepastian.
“Maaf, ada sedikit masalah dengan pihak supplier.” Aku berusaha menjelaskan karena kulihat wajah Ardi tampak tidak senang. Ia menghentikan makannya dan memandangiku. “Ini jam istirahat, kenapa masih mengurusi pekerjaan?” tanyanya. Dari kata-katanya terdengar  jelas ia belum menerima permintaan maafku.
“Maaf, Di. Tapi itu tadi mendesak, pihak supplier—
Ardi mengangkat tangannya, isyarat itu seketika menghentikan kata-kataku.
“Aku mengerti tentang pekerjaanmu, tetapi rasanya akhir-akhir ini kau sudah kelewatan,” ujar Ardi.
“Kelewatan bagaimana?” tanyaku bingung.
“Kau lebih mementingkan pekerjaanmu daripada aku,” sahut Ardi. “Kadang aku merasa percuma saja kita pergi berdua, makan bersama karena toh kau selalu asyik dengan gadgetsmu, entah itu ponsel, tablet, atau laptop. Gadgets seolah alat pacu jantung bagimu, tanpa benda-benda itu mungkin kau akan sekarat.”
Kuamati lekat sosok yang duduk di hadapanku itu. Begitukah aku di matanya?
“Kau terlalu berlebihan,” sahutku sembari meraih gelas air putih dan menandaskan isinya. “Aku tidak gila kerja.”
“O ya?” Ardi bersidekap. Matanya memandang lurus kepadaku. “Kau bekerja dua belas jam sehari, Ambar. Masuk jam sembilan pagi, pulang jam sepuluh atau sebelas malam. Apa namanya kalau bukan gila kerja?”
“Kau juga terkadang bekerja sampai tengah malam,” sahutku ketus. Aku kesal karena Ardi menyebutku gila kerja. Kuakui akhir-akhir ini aku memang sering lembur, tetapi itu karena sebentar lagi ada peluncuran produk baru, sebelum ini aku tidak terlalu sering lembur.
“Hanya jika harus menyelesaikan desain dan coding program yang rumit, dan itu pun jarang,” ujar Ardi. “Dan yang paling penting, aku tidak pernah membawa-bawa pekerjaanku di tengah kencan kita.”
Kata-kata Ardi menohokku. Ia benar. Selama ini ia memang tidak pernah membawa pekerjaanku jika sedang bersamaku. Saat kami bersama ia melupakan semua pekerjaannya sebagai seorang programmer, ia mencurahkan semua perhatian kepadaku. Aku pun begitu ... dulu.
Dahulu, ketika kami berkencan, kami akan berkeliling menjelajahi kota, mengunjungi tempat-tempat unik, atau berwisata kuliner. Dahulu,  kami mengobrol dengan bermacam topik, mulai dari yang serius sampai yang absurd. Dahulu, aku selalu mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Ardi, semua kisah yang ia ceritakan, semua lelucon yang ia bagikan.
Kini, setelah aku bekerja dan mulai meniti karir, kami jarang berkencan. Kalau pun kami bertemu itu hanya untuk makan siang atau malam bersama. Kami hampir tak pernah menghabiskan akhir pekan bersama lagi, karena aku lebih sering menghabiskan akhir pekan melakukan kunjungan kerja ke luar kota. Rasanya sudah begitu lama aku tidak duduk di sebelah Ardi dan mendengarkan kisahnya, leluconnya. Aku yang sekarang memang lebih sering memegang gadgetsku dibanding menggenggam tangan Ardi.
“Aku....”
“Aku cemburu pada pekerjaanmu yang selalu mendapat perhatian darimu,” ujar Ardi pelan, ia sudah tak lagi bersidekap, tangannya kini mengaduk-aduk sup makaroninya tanpa niat untuk memakannya. “Kadang kupikir kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada aku,” ia melanjutkan.
Cepat kuraih tangan Ardi, menggenggamnya erat. “Aku mencintaimu,” ujarku.
Mata Ardi kembali menatapku. “Kau yang dulu mencintaiku,” sahutnya.
“Yang sekarang pun sama.”  Dengan cepat aku menimpali.
“Tak sebesar dulu kurasa,” ujarnya hambar.
“Kau meragukanku?” Kurasakan mataku mulai basah. “Bagaimana caranya aku membuktikan perasaanku padamu?”
“Kurasa....”
Tepat saat Ardi mulai bicara ponselku kembali berbunyi. Awalnya ingin kuabaikan tetapi setelah melihat panggilan itu dari atasanku, segera kulepas tangan Ardi dan meraih ponselku. Kulihat mata Ardi menyorot marah, tetapi tak kuacuhkan. Akan kujelaskan padanya nanti setelah panggilan ini berakhir.
Selama aku berbicara di telepon mata Ardi tak lepas dariku, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tak sabar. Aku hanya bisa memberikan jawaban singkat pada atasanku, dan saat kupikir Ardi akan meledak atasanku menyudahi percakapan kami, dan memutuskan sambungan.
“Maaf, tadi itu Pak Djoko, aku tidak mungkin mengabaikannya,” jelasku dengan nada memohon, berharap Ardi memberikan pengertiannya.
“Ambar.” Ardi mengulurkan tangan, menyentuh tanganku. “Antara uang atau cinta, kau pilih mana?”
Keningku berkerut. “Pertanyaanmu aneh, Di.”
Ia menggeleng. “Biar kubuat lebih simpel. Uang adalah pekerjaanmu, dan cinta adalah aku...” Ia menggantung kalimatnya sesaat untuk mengamatiku, dan ia pasti menyadari kerutan di keningku semakin dalam. “Di antara keduanya mana yang kau pilih?”
“Apa maksud pertanyaanmu?” Aku balik bertanya dengan hati berjengit.
“Aku bermaksud melamarmu, tetapi aku ingin setelah menikah kau jadi ibu rumah tangga saja,” jawab Ardi.
“Maksudmu aku harus berhenti bekerja?” tanyaku marah.
“Iya.” Ardi menjawab dengan lugas.
Aku menggeleng. “Aku tidak mau,” ujarku. “Ini impianku, Di.”
“Itukah pilihanmu?” Ardi melepas genggamannya.
“Ya,” jawabku. “Karirku sedang bagus-bagusnya sekarang, aku tidak mungkin melepaskannya. Dan untuk pernikahan ... Kurasa ini bukan waktu yang tepat.”
Wajah Ardi tampak pias, sudut-sudut bibirnya turun, tak pernah kulihat ia tampak begitu pasrah, begitu sakit hati atas ucapanku. “Aku mengerti,” ujarnya lemah.
“Di, aku....” Pikiranku seketika kosong, tak kutemukan kata yang sesuai untuk menjelaskan kepadanya.
Terdengar helaan napas dari Ardi sebelum ia berkata, “Sepertinya kalau kita paksakan hubungan ini, kita akan semakin saling menyakiti ya?”
Deg! Seketika jantungku berdebar tak karuan. “Maksudmu?”
“Kau punya masalah sendiri, aku pun demikian. Dan, kita berdua sudah tidak mampu lagi untuk saling mengerti. Kita tidak lagi sejalan, Ambar.”
“M-maksudmu?” Aku terbata. Rasanya ingin kututup saja telingaku sekarang, aku tidak mau mendengar jawabannya, tidak mau mendengar kata-katanya.
“Kita lanjutkan kehidupan kita masing-masing. Dengan pilihan hidup kita masing-masing, semoga setelah ini kita berdua bisa berbahagia meski tak lagi bersama.”
Otakku lumpuh. Selama beberapa saat aku hanya bisa memandangi Ardi dengan tatapan tak percaya. “A-aku....”
“Maaf, Ambar.”
Aku tertunduk dalam. Sekuat tenaga kutahan air mataku. Aku tak ingin menangis, tak akan menangis di depan Ardi. Jadi kutegakkan punggungku, kuangkat wajahku, dan kuberikan senyuman terbaikku. “Jika ini memang yang terbaik bagi kita,” ujarku dengan suara bergetar, ternyata aku tak cukup ahli menyembunyikan kegetiranku. “Terima kasih untuk semuanya, Di.”
Ardi hanya mengangguk. Saat kuperhatikan ia, kulihat ada perasaan lega di wajahnya. Kurasa ia memang sudah mengambil keputusan ini sejak lama.
...
Pikiranku kembali ke masa sekarang, ke undangan gading yang masing kugenggam di tanganku.
Uang atau cinta, huh?
Yah, bisa dibilang waktu itu aku lebih memilih uang dibandingkan cinta. Bukan karena aku tidak mencintai Ardi. Aku mencintainya, sungguh. Hanya saja saat dia menyuruhku berhenti bekerja setelah menikah, aku tidak bisa menerimanya. Realistis saja, aku punya pekerjaan dengan jenjang karir yang bagus ke depannya, dan rasanya bodoh jika aku melepaskannya demi seseorang pria yang tidak mendukung impianku.
Kulanjutkan kembali membaca, mataku berhenti cukup lama di nama mempelai wanita. Raisya Azzahra. Jadi wanita inilah yang menjadi pelabuhan hati Ardi kini. Dialah wanita yang Ardi rasa tepat untuk menjadi pendamping hidupnya. Hatiku serasa diremas. Sakit. Namun apalah dayaku, Ardi memang bukan jodohku. Pilihanku membuat kami melangkah di jalan yang berbeda.
Jika ditanya apakah aku menyesal melepaskan Ardi? Ya, aku sedikit menyesal. Tetapi karena aku sudah memilih, dan akan kujalani pilihanku. Biar pun pedih, biar pun sakit, harus kuterima.
...
fin
...

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar