Halaman

Minggu, 08 April 2012

[Holiday Writing Challenge] Pindahkan Genrenya!


Flavor of Love
a novel by Al Dhimas
Halaman 248-249

Ini yang aslinya :
Aro mendesis, “Ini benar-benar konyol….”
“Nggak ada bedanya sama yang kamu buat ke Ben, kan?!”
Aro menatapku saat menyebut nama Ben.
“Kamu masih nggak berubah ya, Ro. Rasanya udah ratusan kali aku bilang kalo kamu nggak perlu cemburu sama Ben atau semua laki-laki yang dekat dengan aku,” cetusku.
“Itu gara-gara kamu nggak pernah tahu kalo aku bener-bener sayang sama kamu!” Ia membela diri.
“Gimana aku tahu kalo kamu nggak pernah bilang sama aku?”
“…”                    
“…”
“Aku… aku… aku….”
Aku tersenyum melihat Aro terbata-bata seperti ini. Semua amarah dan kecewa tiba-tiba lenyap dan menguap tak bersisa. Aku menari tangannya dan membawanya duduk bersamaku di sofa.
“Kenapa aku nggak bisa marah lama-lama sama kamu ya, Ro?” Kata-kataku lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan.
“Nggak tahulah. Aku juga merasa kayak gitu sama kamu.”
Tahu-tahu Aro sudah membelai rambutku.
“Tara mungkin cantik, tapi kamu… istimewa,” ujarnya terdengar sungguh-sungguh.
“Gombal kamu ….”Aku tersenyum malu-malu sambil mendorongnya pelan.
Desiran itu kembali hadir saat jari-jemari Aro menyentuh jari tanganku. Kali ini tidak meletup-letup seperti dulu tapi hangat.
“Kamu tahu …. Setiap melihat kamu rasanya aku seperti menemukan kepingan yang hilang dalam hidupku,” ujarnya lembut, “you complete me,” tambahnya.
It’s not Jerry McGuire. Aro yang mengucapkan kata-kata itu padaku. Sesaat aku seperti kehilangan kemampuan untuk bicara. Rasanya aku tidak yakin dengan apa yang kudengar barusan.
“Udahlah, Ro ….”
“Beneran, Pru.”
Kata-kata itu terdengar seperti alunan melodi indah yang dimainkan orchestra paling sohor di jagad ini, di telingaku. Ada hangat yang mengalir saat aku menyandarkan tubuhku di dada Aro.


Ku ubah genrenya menjadi :
Aro mendesis, “Ini benar-benar konyol…. .”Aro mencoba melepaskan ikatan yang menguncinya di kursi .
“Nggak ada bedanya sama yang kamu buat ke Ben, kan?” Aku berbisik ditelinganya.
Aro menatapku saat menyebut nama Ben. Mungkin dia terkejut karena aku tahu tentang apa yang dilakukannya pada Ben.
“Kamu masih nggak berubah ya, Ro. Rasanya udah ratusan kali aku bilang kalo kamu nggak perlu cemburu sama Ben atau semua laki-laki yang dekat dengan aku,” ucapku sambil melangkah menuju kursi yang sengaja kuletakkan didepan Aro dan mendudukinya.
“Itu gara-gara kamu nggak pernah tahu kalo aku bener-bener sayang sama kamu!!!” Teriak Aro.
Braaakkk!!!
Aku menggebrak meja kayu yang berada diantara kami, menjatuhkan beberapa benda yang tadinya berada dipinggiran meja. “Gimana aku tahu kalo kamu nggak pernah bilang sama aku?!” Suaraku tak kalah nyaring dari Aro. Semua ini membuatku muak. Apa yang Aro lakukan pada Ben dan semua laki-laki yang dekat denganku sungguh membuatku marah, membuatku benci padanya. Tapi ….
“…”                    
“…”
“Aku… aku… aku….” Aro terbata. Tak seperti Aro yang biasanya percaya diri sekarang ia terlihat rapuh dan takut. Ya, ia takut. Apa yang ia takutkan? Takut aku membencinya karena apa yang diperbuatnya dan kehilanganku karenanya?
Aku menyandarkan diri dikursi, memejamkan mata mencoba menenangkan diri. Aro melakukan semuanya karena aku, karena ia menyayangiku. Tapi tetap saja yang ia perbuat salah, bukan begitu caranya menyayangi seseorang, Ro. Bukan begitu!
 Aku menghela nafas dan membuka mataku perlahan. Didepanku masih ada Aro yang masih terikat dikursi. Menunggu dalam diam.
“Kenapa aku nggak bisa marah lama-lama sama kamu ya, Ro?” ucapku pelan tapi aku yakin Aro masih dapat mendengarnya.
“Nggak tahulah. Aku juga merasa kayak gitu sama kamu.” Sahutnya enteng.
 “Tara mungkin cantik, tapi kamu… istimewa,” Aro terdengar bersungguh-sungguh.
Aku menatapnya. “Gombal kamu ….”
Kalau Aro mengatakannya kemarin sebelum aku tahu tentang Ben dan semua yang dilakukannya aku pasti sangat bahagia mendengar kata-kata itu. Tapi mendengarnya sekarang, entah apa yang kurasakan ….
 “Kamu tahu …. Setiap melihat kamu rasanya aku seperti menemukan kepingan yang hilang dalam hidupku,” Aro menatapku. Matanya terlihat sedih, “you complete me,” ucapnya.
 “Udahlah, Ro ….”
“Beneran, Pru.”
Kami hanya terdiam. Lama. Sampai suara sirine polisi menyentakkanku pada kenyataan. Aro menatapku, tatapannya sulit kuartikan. Sedihkah kamu Aro? Marahkah? Ataukah benci sekarang padaku?
Tapi kemudian ia tersenyum. Senyum yang selama ini selalu dia berikan padaku dan hanya untukku.
Aku berjalan menghampirinya, dan mulai melepas ikatannya. Aro diam tapi matanya mengikuti setiap gerakannku. Aku meraih tangan Aro dan menggenggamnya erat. Diam-diam aku mengucapkan sumpah dalam hati.
Aku akan menunggumu, pasti menunggumu.