Flavor
of Love
a novel by Al Dhimas
Halaman 248-249
Ini yang aslinya :
Aro
mendesis, “Ini benar-benar konyol….”
“Nggak
ada bedanya sama yang kamu buat ke Ben, kan?!”
Aro
menatapku saat menyebut nama Ben.
“Kamu
masih nggak berubah ya, Ro. Rasanya udah ratusan kali aku bilang kalo kamu
nggak perlu cemburu sama Ben atau semua laki-laki yang dekat dengan aku,”
cetusku.
“Itu
gara-gara kamu nggak pernah tahu kalo aku bener-bener sayang sama kamu!” Ia
membela diri.
“Gimana
aku tahu kalo kamu nggak pernah bilang sama aku?”
“…”
“…”
“Aku…
aku… aku….”
Aku
tersenyum melihat Aro terbata-bata seperti ini. Semua amarah dan kecewa
tiba-tiba lenyap dan menguap tak bersisa. Aku menari tangannya dan membawanya
duduk bersamaku di sofa.
“Kenapa
aku nggak bisa marah lama-lama sama kamu ya, Ro?” Kata-kataku lebih terdengar
seperti pernyataan daripada pertanyaan.
“Nggak
tahulah. Aku juga merasa kayak gitu sama kamu.”
Tahu-tahu
Aro sudah membelai rambutku.
“Tara
mungkin cantik, tapi kamu… istimewa,” ujarnya terdengar sungguh-sungguh.
“Gombal
kamu ….”Aku tersenyum malu-malu sambil mendorongnya pelan.
Desiran
itu kembali hadir saat jari-jemari Aro menyentuh jari tanganku. Kali ini tidak
meletup-letup seperti dulu tapi hangat.
“Kamu
tahu …. Setiap melihat kamu rasanya aku seperti menemukan kepingan yang hilang
dalam hidupku,” ujarnya lembut, “you
complete me,” tambahnya.
It’s not Jerry McGuire. Aro yang mengucapkan kata-kata itu padaku. Sesaat aku
seperti kehilangan kemampuan untuk bicara. Rasanya aku tidak yakin dengan apa
yang kudengar barusan.
“Udahlah,
Ro ….”
“Beneran,
Pru.”
Kata-kata
itu terdengar seperti alunan melodi indah yang dimainkan orchestra paling sohor
di jagad ini, di telingaku. Ada hangat yang mengalir saat aku menyandarkan
tubuhku di dada Aro.
Ku ubah genrenya
menjadi :
Aro
mendesis, “Ini benar-benar konyol…. .”Aro mencoba melepaskan ikatan yang
menguncinya di kursi .
“Nggak
ada bedanya sama yang kamu buat ke Ben, kan?” Aku berbisik ditelinganya.
Aro
menatapku saat menyebut nama Ben. Mungkin dia terkejut karena aku tahu tentang
apa yang dilakukannya pada Ben.
“Kamu
masih nggak berubah ya, Ro. Rasanya udah ratusan kali aku bilang kalo kamu
nggak perlu cemburu sama Ben atau semua laki-laki yang dekat dengan aku,” ucapku
sambil melangkah menuju kursi yang sengaja kuletakkan didepan Aro dan
mendudukinya.
“Itu
gara-gara kamu nggak pernah tahu kalo aku bener-bener sayang sama kamu!!!”
Teriak Aro.
Braaakkk!!!
Aku
menggebrak meja kayu yang berada diantara kami, menjatuhkan beberapa benda yang
tadinya berada dipinggiran meja. “Gimana aku tahu kalo kamu nggak pernah bilang
sama aku?!” Suaraku tak kalah nyaring dari Aro. Semua ini membuatku muak. Apa yang
Aro lakukan pada Ben dan semua laki-laki yang dekat denganku sungguh membuatku
marah, membuatku benci padanya. Tapi ….
“…”
“…”
“Aku…
aku… aku….” Aro terbata. Tak seperti Aro yang biasanya percaya diri sekarang ia
terlihat rapuh dan takut. Ya, ia takut. Apa yang ia takutkan? Takut aku
membencinya karena apa yang diperbuatnya dan kehilanganku karenanya?
Aku
menyandarkan diri dikursi, memejamkan mata mencoba menenangkan diri. Aro melakukan
semuanya karena aku, karena ia menyayangiku. Tapi tetap saja yang ia perbuat
salah, bukan begitu caranya menyayangi seseorang, Ro. Bukan begitu!
Aku menghela nafas dan membuka mataku perlahan.
Didepanku masih ada Aro yang masih terikat dikursi. Menunggu dalam diam.
“Kenapa
aku nggak bisa marah lama-lama sama kamu ya, Ro?” ucapku pelan tapi aku yakin
Aro masih dapat mendengarnya.
“Nggak
tahulah. Aku juga merasa kayak gitu sama kamu.” Sahutnya enteng.
“Tara mungkin cantik, tapi kamu… istimewa,” Aro
terdengar bersungguh-sungguh.
Aku
menatapnya. “Gombal kamu ….”
Kalau
Aro mengatakannya kemarin sebelum aku tahu tentang Ben dan semua yang
dilakukannya aku pasti sangat bahagia mendengar kata-kata itu. Tapi
mendengarnya sekarang, entah apa yang kurasakan ….
“Kamu tahu …. Setiap melihat kamu rasanya aku
seperti menemukan kepingan yang hilang dalam hidupku,” Aro menatapku. Matanya
terlihat sedih, “you complete me,”
ucapnya.
“Udahlah, Ro ….”
“Beneran,
Pru.”
Kami
hanya terdiam. Lama. Sampai suara sirine polisi menyentakkanku pada kenyataan.
Aro menatapku, tatapannya sulit kuartikan. Sedihkah kamu Aro? Marahkah? Ataukah
benci sekarang padaku?
Tapi
kemudian ia tersenyum. Senyum yang selama ini selalu dia berikan padaku dan
hanya untukku.
Aku
berjalan menghampirinya, dan mulai melepas ikatannya. Aro diam tapi matanya
mengikuti setiap gerakannku. Aku meraih tangan Aro dan menggenggamnya erat.
Diam-diam aku mengucapkan sumpah dalam hati.
Aku akan menunggumu, pasti menunggumu.