Rindra merasakan sebuah lengan
mengalungi lehernya dan menariknya menjauh dari Nami, kemudian ia merasa
tubuhnya dibalikkan dan …
Brug!!!
Rindra tersungkur mencium lantai,
darah segar mengalir disudut bibir kirinya. Rindra menghapus darahnya dengan
punggung tangan, matanya menatap marah Jo yang berdiri menjulang dihadapannya. Yang
balik menatapnya dengan tatapan yang sama, bahkan terlihat lebih menyeramkan. Tatapan
yang diberikan cowok itu membuat nyali
Rindra menciut, enggan untuk melakukan perlawanan.
“Jo,” suara itu mengalihkan Jo. Cowok
itu beranjak mendekati Nami. Melihat pakaian Nami yang berantakan dan sobek,
amarahnya semakin mendidih. Ia berbalik menatap Rindra, ingin benar rasanya ia
menguliti si brengsek itu. Tapi itu bisa menunggu yang terpenting sekarang
adalah membawa Nami pergi. Jo melepas jaketnya dan memakaikannya pada Nami. Lalu
meraih tangan gadis itu dan langsung menariknya keluar.
Jo berjalan dengan cepat sambil
terus menarik Nami ingin segera membawa Nami pergi dari tempat itu. mengamankan
gadis itu. Nami terseok-seok dibelakangnya, mengimbangi langkah Jo yang lebar
dan cepat.
“Jo, bisakah kau pelan sedikit?”
Pinta Nami, kakinya sudah mulai tak sanggup mengimbangi langkah-langkah cowok
didepannya. Tapi permintaannya sama sekali tak dipedulikan Jo, cowok itu sama
sekali tak mengurangi kecepatan langkahnya.
Prakk
“Aw,,, Aduh!” Nami terduduk. Langkah
Jo otomatis terhenti dan ia langsung berbalik kearah Nami.
“Kenapa?” Jo berjongkok disamping
Nami.
“Kakiku,,,” Nami menoleh kearah
kakinya, matanya mengerjap beberapa kali untuk memperjelas pandangannya tapi
percuma air mata membuat pandangannya kabur.
“Hak sepatumu patah,” ujar Jo seraya meraih
kaki Nami dan melepaskan sepatunya. “Dan sepertinya kakimu terkilir,” tambahnya
sambil memijat lembut kaki Nami.
“Sakit,,,” ujar Nami lirih
sementara air matanya mulai berjatuhan. Jo merengkuh Nami kedalam pelukannya.
Tanpa suara, tanpa penghiburan hanya
membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.
###
“Makasih,” ucap Nami lirih. Nami melepaskan diri dari
pelukan Jo. Ia menunduk memandangi kakinya.
“Baikan?” Tanya Jo lembut.
“Sedikit,” jawabnya. Nami
mendongak niatnya ingin menunjukkan senyuman sebagai pertanda ia baik-baik
saja. Tapi, niatnya terlupakan. Mata itu, lagi-lagi mata itu menghipnotisnya. Tapi
ada yang berbeda, mata itu tak seperti biasanya yang selalu terlihat dingin dan
tak peduli. Mata itu kini menatapnya lembut, penuh perhatian, kasih sayang.
Deg!
Nami membuang pandangannya,
memutus kontak itu. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Kenapa?Aku,,, apa aku? Batinnya. Nami
mengeleng cepat, berusaha menjernihkan pikirannya.
“Kau baik-baik saja?” Terdengar
kekhawatiran dalam suara Jo. Nami mengangguk cepat. “Aku mau pulang,” ujarnya.
“Baik,” Jo meraih Nami dan
menggendong gadis itu.
“Ap,,, apa-apaan kau ini?!” Nami
meronta. “Aku bisa jalan sendiri!”
“Tanpa sepatu?” Jo menaikan
alisnya. “Dan jangan lupa kaki yang terkilir juga,” tambah cowok itu.
Nami diam, matanya memandangi
kakinya yang keseleo. Senyum kecil terukir diwajahnya. Eh, kok aku malah senang? Aku baru saja hampir diperkosa, kakiku
keseleo dan aku merasa senang? Aku benar-benar aneh!
“Sepertinya bukan hanya kakimu yang bermasalah,” Nami
mendongak memandang Jo. Jo tersenyum licik, “ternyata otakmu juga bermasalah.”
“Jahat!!!!!” Nami meninju bahu Jo. Yang ditinju malah
tertawa ngakak. “Kau menyebalkan!” Nami membuang muka dan menggembungkan
pipinya. Kebiasaannya kalau dia sedang kesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar